Suara Kupang – Prancis menunjukkan sikap yang berbeda dalam menanggapi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pekan lalu, ICC merilis surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan eks Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant. Mereka dituduh melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza, Palestina.
Semula, Prancis, yang merupakan negara anggota ICC yang menandatangani Statuta Roma, mendukung keputusan mahkamah tersebut dan akan mematuhinya.
Namun, sikap Paris berubah pikiran ketika Kementerian Luar Negeri Prancis pada Rabu (27/11) mengeklaim suatu negara tak bisa dituntut bertindak dengan cara yang tak sesuai kewajiban sehubungan dengan kekebalan negara bukan pihak ICC. Sebab, Israel bukan merupakan negara anggota ICC.
“Kekebalan tersebut berlaku bagi Perdana Menteri Netanyahu dan menteri terkait lain dan harus dipertimbangkan jika ICC meminta penangkapan dan penyerahan mereka,” demikian menurut Kemlu Prancis, dikutip Reuters.
Prancis juga menekankan akan bekerja sama lebih erat dengan Israel mengingat sejarah hubungan kedua negara ini.
Menurut Prancis kerja sama itu untuk mencapai perdamaian dan keamanan bagi semua orang di Timur Tengah.
Pernyataan Kemlu kali ini memperjelas posisi Prancis terkait surat perintah penangkapan ICC.
Sebelumnya, Prancis sempat mengeluarkan pernyataan pertama dan menyebut akan mematuhi perintah tersebut.
Namun, sehari setelah pernyataan itu atau pada 22 November, Prancis mencatat keputusan ICC hanya bentuk formalitas tuduhan-tuduhan yang dilancarkan ke Netanyahu dan Gallant.
Pernyataan kedua muncul karena Prancis khawatir putusan ICC bisa menghambat gencatan senjata Israel dan Hizbullah.
Sikap terbaru Prancis menuai kritik salah satunya dari kelompok pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW).
“Ada omong kosong yang mengejutkan dari Prancis,” kata Direktur Media Eropa di HRW, Andrew Stroehlein.
Dia juga menjabarkan, “Tak seorang pun mendapat kekebalan dari surat perintah penangkapan ICC karena mereka masih menjabat – tidak Netanyahu, tidak Putin, tidak seorang pun.”
Menurut Statuta Roma, negara anggota wajib mematuhi perintah jika ICC mengeluarkan surat penangkapan. Prancis merupakan anggota lembaga penegak hukum internasional ini.
Sikap Prancis ke Netanyahu berbeda ketika ICC merilis surat penangkapan untuk Putin pada Maret 2023.
Ketika itu, Kemlu Prancis mengatakan tak ada yang bisa lolos dari pertanggungjawaban kejahatan Rusia di Ukraina.
“Tak seorangpun yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan Rusia di Ukraina, terlepas dari status mereka, boleh lolos dari keadilan,” demikian pernyataan Kemlu pada 2023, dikutip Reuters.
ICC menuduh Putin dan Komisaris hak anak-anak Rusia, Maria Lvov-Belova, melakukan kejahatan perang dengan mendeportasi anak-anak Ukraina secara ilegal ke Rusia.
Sebagai kepala negara, Putin juga dianggap gagal mengontrol bawahan dengan baik sehingga tindakan tersebut tak bisa dicegah.
Source : https://www.cnnindonesia.com