Polda NTT Lidik Dugaan Kekerasan Oknum Polisi ke Pemred Floresa Saat Unras Geothermal Poco Leok

Written by on

Suara Kupang– Pihak Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur atau Polda NTT akan menyelidiki dugaan kekerasan  yang dilakukan oknum polisi Polres Manggarai terhadap pekerja media saat unjuk rasa pembangunan Geothermal  pada Rabu 2 Oktober 2024 lalu.

Hal tersebut disampaikan Kabid Humas Polda NTT Polda NTT Kombes Pol Ariasandy  dalam siaran pers yang diterima POS-KUPANG.COM, Sabtu, 12 Oktober 2024.

Aryasandi mengatakan, korban Herry Kabut yang merupakan Pemimpin Redaksi (Pemred) Media Floresa, telah melaporkan dugaan kekerasan  yang dilakukan oleh oknum anggota Polres Manggarai di Bid Propam Polda NTT serta melaporkan juga kasus tersebut di SPKT Polda NTT pada Jumat, 11 Oktober 2024.

Dia mengatakan, Polda NTT menanggapi dengan serius setiap laporan dari masyarakat, terutama yang melibatkan dugaan pelanggaran oleh anggotanya.

Laporan yang masuk ke Bidang Propam terkait dugaan kekerasan  itu, lanjut dia, akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

“Kami tekankan juga bahwa pihaknya berkomitmen untuk menjaga profesionalitas dan integritas institusi kepolisian dalam melayani dan melindungi masyarakat. Tidak mentolerir segala bentuk tindakan kekerasan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota,” kata dia.

Arisandy memastikan, semua laporan akan diproses secara transparan dan akuntabel, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Terkait dengan laporan tersebut, Bid Propam Polda NTT  akan segera melakukan penyelidikan lebih lanjut guna memastikan kebenaran dugaan kekerasan  yang terjadi di lokasi proyek Geothermal Leok,” sebut Arisandy.

Pihak Polda NTT  akan memeriksa seluruh bukti dan keterangan saksi terkait peristiwa tersebut, termasuk dari pihak pelapor dan terlapor.

Selanjutnya, Polda NTT  juga mengimbau kepada semua pihak, baik masyarakat maupun media, untuk tetap menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut.

“Kami berharap semua pihak dapat bekerja sama demi terciptanya situasi yang kondusif, khususnya di lokasi proyek geothermal yang menjadi perhatian publik,” pungkas dia.

Gelaran demontrasi, Jumat 11 Oktober 2024 di depan kantor DPRD NTT dan Mapolda NTT, gabungan organisasi mahasiswa dan LSM dan masyarakat sipil itu merespons polemik pembangunan yang terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai beberapa waktu lalu.

Organisasi tersebut yakni Walhi NTT, FMN, LMND, SP Flobamoratas, Semmut, AGRA, IMMAM, PPMAN Bali Nusra, JPIT, Unika, Hanaf, Permaskku, Green Leadership Indonesia, Komika, Sahabat Alam Walhi dan WCDI

Koordinator Umum demontrasi Febrianto Bintara mengatakan, polemik geothermal ini membuat aparat, TNI/Polri mengintimidasi  masyarakat dan juga jurnalis.

“Mengecam keras tindakan aparat kepolisian dari Polres Manggarai yang menangkap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, saat meliput aksi protes warga Poco Leok atas pematokan lahan proyek geotermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu, 2 Oktober 2024,” katanya dalam pernyataan sikapnya.

Dia mengatakan, kericuhan warga, jurnalis dan aparat keamanan di Poco Leok sempat didokumentasikan warga setempat.  Febrianto mengatakan, proyek geothermal tersebut digarap Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai dan merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Poco Leok untuk membuka akses jalan proyek geotermal pada Rabu kemarin.

Masuknya tim PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ini diiringi dengan pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi  Pamong Praja. Upaya tersebut dihadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan.

“Berdasarkan informasi langsung yang diperoleh dari warga sekitar, aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat dan Pol-PP tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar,” katanya.

Dia bilang, aparat mendorong, mendobrak, sehingga ada beberapa warga yang terluka karena dipukul polisi berseragam lengkap.
Berdasarkan keterangan warga ada sekitar empat orang yang ditahan saat itu dan aparat mengatakan akan melepas mereka ketika aksi bubar.

“Termasuk Pemimpin redaksi Floresa juga ditangkap saat melakukan peliputan,” tambah dia.

Febrianto menjelaskan, sesuai kejadian tersebut, aliansi menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tindakan kekerasan oleh aparat keamanan berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.

Atas perkara tersebut, aliansi mendesak dan mengecam pemerintah dan pihak penegakan hukum, sebab menurut aliansi tindakan pemerintah menggunakan alat negara untuk melawan masyarakat akan menimbulkan perpecahan.

Febrianto menerangkan, keberhasilan suatu proyek tidak hanya diukur dari keuntungan ekonomi, tetapi juga dari dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.

“Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai proyek yang mempengaruhi kehidupan mereka,” katanya.

Aliansi penolakan geothermal, kata dia, menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, untuk mendukung perjuangan warga Poco Leok yang berupaya melindungi tanah adat dan hak-hak warga.

“Kebebasan pers harus dijamin, dan jurnalis harus dilindungi dari segala bentuk intimidasi atau kekerasan saat menjalankan tugasnya,” tegasnya.

Dalam konteks proyek geothermal Poco Leok, lanjut dia, pihak berwenang harus membuka ruang bagi partisipasi aktif warga dan mengedepankan prinsip transparansi dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi proyek.

Aliansi Penolakan Geothermal menuntut Bank KFW Jerman untuk menghentikan pendanaan Geothermal Poco Leok. Selanjutnya, menuntut dicabutnya SK Bupati Manggarai NO HK /417/2022 tentang izin Surfet dan SK Bupati No 366 tahun 2024 tentang penetapan Poco Leok.

Aliansi juga menuntut Kapolres Manggarai dicopot, penghentian upaya sertifikasi tanah di Poco Leok oleh Kementerian ATR/BPN, penghentian seluruh aktivitas PT PLM VIP Nusra, aparat keamanan dan pemda di Poco Leok serta penghentian intimidasi dan politik pecah belah oleh Pemda dan PT PLN di Poco Leok. Selain itu, Aliansi meminta personil TNI Polri ditarik dari Poco Leok.

Hingga pukul 19.39 WITA, Manager Komunikasi PT PLN (Persero) UIW NTT Ita Yupukoni, belum merespons pesan yang dikirimkan POS-KUPANG.COM, mengkonfirmasi penolakan kelompok mahasiswa itu.

 

Source: https://kupang.tribunnews.com

 


Reader's opinions

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *



Current track

Title

Artist

Background
Open chat
Powered by