Suara Kupang – Anomali terjadi di daerah kaya sumber daya alam (SDA). Meskipun mereka memiliki kekayaan alam yang melimpah, tapi banyak rakyat mereka yang hidup dalam kemiskinan.
Anomali diungkap Kementerian ESDM. Mereka memberi contoh soal ironi dan anomali itu di Sumatra Selatan.
Daerah asal empek-empek itu sejatinya menjadi pemilik ladang batu bara terbesar kedua di Indonesia. Tapi, berdasar fakta dan data Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata hampir satu juta warga Sumsel hidup miskin pada Maret 2024.
Padahal, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis Muhammad Idris Froyoto Sihite menyebut kekayaan batu bara di Sumsel mencapai 9,3 miliar ton. Produksinya di 2023 bahkan menyentuh 104,68 juta ton dan menyumbang Rp9.898 triliun ke kas negara.
Kementerian ESDM menuduh tambang ilegal sebagai biang keroknya. Terlebih, Sumsel diklaim sebagai salah satu provinsi dengan pertambangan tanpa izin (PETI) terbanyak di Indonesia.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut. Apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasal 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” jelas Sihite, dikutip dari situs resmi ESDM, Senin (22/7).
Sihite menyebut kementeriannya belum punya unit khusus yang membidangi penegakan hukum di sektor ESDM, tak seperti yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya sinergi dengan aparat penegak hukum (APH).
Ia menekankan pengelolaan SDA semestinya membawa kesejahteraan bagi rakyat. Selain itu, Sihite menyinggung tentang perputaran ekonomi di wilayah sekitar, bukan cuma terkena dampak buruk pertambangan.
Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti tak sepakat jika tambang ilegal dijadikan kambing hitam atas tingginya kemiskinan di daerah kaya tambang dan sumber daya alam di RI. Menurutnya, masalah illegal mining bisa dikikis andai pemerintah punya ketegasan.
“Tidak ada hubungannya (tambang ilegal) dengan kemiskinan. Kemiskinan itu disebabkan oleh tiga hal, masyarakat yang tidak bekerja atau menghasilkan pendapatan di atas garis kemiskinan karena tidak memiliki pekerjaan yang berlanjut, tidak memiliki keahlian, dan tidak sekolah,” tuturnya kepada CNNIndonesia.com.
Yayan menegaskan kemiskinan di wilayah kaya tambang menunjukkan adanya permasalahan struktural. Oleh karena itu, ia meminta negara menghadirkan solusi struktural, salah satunya penciptaan lapangan kerja agar warga setempat bisa mendapatkan upah di atas garis kemiskinan.
Ia mendorong supaya warga setempat bisa dipekerjakan di wilayah tambang. Jika tak memenuhi kualifikasi, berarti pemerintah harus membiayai sekolahnya dan menunjang keahlian masyarakat.
“Sumber daya alam harus berdampak pada masyarakat. Hilangnya sumber daya ini harus diganti dengan sumber daya yang lebih baik dan bersifat keberlanjutan, misal peningkatan human capital atau masyarakat sekitar menjadi lebih pintar,” tegas Yayan.
Di lain sisi, ia mengatakan anomali yang terjadi berkaitan dengan hipotesis kutukan sumber daya alam. Yayan mengatakan kutukan tersebut sebenarnya bisa saja ditangkis, jika negara membuat natural resource fund.
Konsep ini disebut mirip seperti Petroleum Fund di Norwegia. Jadi, ada lembaga khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengelola natural resource fund untuk mengganti SDA yang hilang menjadi sumber daya lain yang dapat diperbaharui.
“Saat ini memang ada yang disebut dana bagi hasil (DBH) SDA, seperti batu bara. Tampaknya karena tidak ada budget tagging atau earmark bahwa DBH SDA harus kembali ke konservasi sumber daya alam, (sehingga) menjadi instrumen fiskal kurang ramah lingkungan,” tuturnya.
Menurutnya, DBH SDA kudu difokuskan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, sustainable development yang harus dikembalikan ke masyarakat. Yayan mengapresiasi perhitungan proporsional yang dipatok negara ke masing-masih wilayah penghasil tambang.
Tetapi ia menyayangkan bagaimana efektivitas penggunaannya. Ia menegaskan hal paling penting adalah efektivitas penggunaan dana tersebut. Selain itu, bagaimana dana bagi hasil tersebut digunakan pemerintah di daerah penghasil tambang.
“Outcome government spending harus mengarah ke natural resource substitute, misal diganti dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Atau infrastruktur yang berkualitas, seperti kesehatan dan pendidikan dalam jangka panjang sehingga outcome dari hasil DBH memberikan benefit bagi masyarakat secara berarti,” saran Yayan.
Source : https://www.cnnindonesia.com